Saturday, September 22, 2012

Sekelumit Kisah Dari Perjalanan ke Guangxi



Musim Semi - April 2007

Berangkat jam 6 pagi dari Hanoi menggunakan minibus menuju Lang Son di perbatasan Cina, ditemani seorang staf biro perjalanan yang menyediakan penerjemah Cina yang bisa berbahasa Vietnam. Saya akan menjadi "obyek serah terima" antara dia dengan penerjemah merangkap guide di perbatasan Cina. Saya ditugaskan perusahaan tempat saya bekerja untuk mengunjungi pusat perdagangan rempah-rempah di Guangxi, tetapi saya tidak akan menceritakan hal tersebut. Saya hanya ingin mengabadikan kenangan di luar urusan pekerjaan yang saya peroleh selama perjalanan tersebut, sebelum terlupakan digerogoti waktu.

Sesampainya di perbatasan sekitar jam 10, bertemu dengan guide saya dan melanjutkan perjalanan dengan taksi ke kota terdekat, Pingxiang. Di sana saya makan masakan yang sangat enak, phi tan (sejenis telur asin) ditumis. Tetapi telurnya sudah melalui proses sedemikian rupa sehingga kuning telur berubah warna menjadi hitam dan putih telurnya menjadi transparan seperti jeli.

sepiring phi tan, favorit saya

Kereta api membawa kami ke ibukota propinsi Guangxi, Nanning. Melihat dari pakaian sederhana dan gaya berbicara yang akrab saya menduga para penumpang sebagian besar "orang kampung" yang mau ke kota. Mereka sangat ramah dan tidak malu-malu berinteraksi dengan saya meskipun tidak memahami bahasa masing-masing.

Gerbong kereta api Cina lebih lebar daripada di Indonesia, menggunakan rel standard gauge 1,435mm

Stasiun Kereta Api Kota Nanning, mungkin begitu arti tulisan di atas bangunan tersebut

Stasiun kereta api Nanning adalah sebuah bangunan yang sangat luas. Begitu keluar dari stasiun ternyata Cina memang serba besar. Jalan-jalan lebar, trotoar lebar, bangunan tinggi seolah berlomba-lomba dibangun. Suasana kota Nanning memberikan kesan kota yang sedang tumbuh cepat dengan kegiatan masyarakat yang dinamis. Nanning diproyeksikan menjadi hub perdagangan Cina dengan negara-negara ASEAN. Penginapan yang sudah dipesan guide saya ternyata tidak jauh dari stasiun, terletak di seberang jalan.

Sebagian gedung pencakar langit di Nanning yang terlihat dari atas bis kota

Di luar dugaan, saya menemukan restoran muslim tidak jauh dari penginapan. Di situlah saya seumur-umur memakan mi tarik dan melihat langsung cara membuatnya sebelum dimasak. Saya senang makan di sana, selain halal rasanya enak dan porsinya besar. Bermalam di Nanning hanyalah untuk transit.

Mi tarik yang dibuat langsung sesaat sebelum dimasak

Banyak restoran di Nanning menyediakan ini di atas meja pengunjung, misterius karena gak bisa baca labelnya

Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan dengan bis ke kota Yulin. Yulin dikenal sebagai sentra perdagangan rempah-rempah dan bahan baku ramuan herbal. Di sana saya mempir ke pasar yang menjual rempah-rempah dan ramuan herbal termasuk binatang-binatang yang dikeringkan untuk obat. Tokek, ular, biawak, kadal….

Pasar Khusus Obat Tradisional Cina di Yulin, begitu katanya

Sebelum melanjutkan perjalanan keesokan harinya, saya mencari sesuatu untuk sarapan. Saya menemukan penjual makanan dari tepung terigu dan telur. Dilihat bentuknya mirip dengan banh cuon di Hanoi. Itulah sarapan saya hari itu, bisa dilihat pada gambar di bawah ini.

Nama makanan ini? Yang jelas terbuat dari tepung terigu, telur, dikukus dan digulung setelah matang. Disajikan dengan sejenis kecap, yang botolnya ada di gambar sebelumnya


Persinggahan saya berikutnya adalah kota Wuzhou, terletak persis di perbatasan propinsi Guangxi dengan Guangzhou. Kayumanis sikiang yang terkenal banyak diperdagangkan di Wuzhou. Kota Wuzhou lebih kecil dari Nanning dan Yulin tetapi jelas terlihat aktifitas perekonomian kota ini sedang menggeliat. Pemandangan dari jendela kamar hotel saya dipenuhi dengan ruko-ruko tempat berniaga.

Pemandangan pagi hari dari jendela penginapan di Wuzhou, musim semi masih menyisakan dingin dan kelabunya musim dingin
Lokasi tempat yang dikunjungi pada peta (sumber Google Maps)

Wuzhou adalah persinggahan terakhir sebelum kembali ke Nanning. Saya merasa seperti kembali ke peradaban ketika tiba kembali di Nanning larut malam. Paling tidak ada beberapa hal yang saya kenal, Pizza Hut dan McDonald. Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik makan di situ. Masalahnya malam itu adalah malam terakhir saya ditemani guide. Bahasa menjadi kendala tetapi Pizza Hut dan MacDonald memiliki store manager yang bisa berbahasa Inggris.

Pak sopir taksi yang ramah, membawa kami di Wuzhou

Bis yang saya naiki kembali dari Nanning ke Hanoi, istirahat di rest area jalan tol menuju perbatasan Vietnam. Jika teliti di dalam bis terlihat ada pramugari bis dengan seragam senada warna bis

Berbeda dengan saat saya tiba, kali ini saya menggunakan bis dari Nanning langsung ke Hanoi keesokan paginya. Sebenarnya tidak langsung, kami berganti bis di perbatasan. Mereka mengganti bis Cina yang besar dengan bis Vietnam yang berukuran lebih kecil di perbatasan. Sore hari itu, saya sudah kembali ke rumah kontrakan saya di Hanoi, dengan banyak kenangan dari perjalanan di Guangxi.