Sunday, May 30, 2010

Sunrise Above The Clouds

Arriving late in Dieng Plateau that night (11-pm) didn't give comfortable options in choice a hotel. I did checked "Bu Jono" (mean Mrs. Jono), a hotel in Dieng mentioned by backpackers in the internet. It didn't impress me, and no one was inside. That led me to another hotel just by its side. Again, nobody answered to the door bell. Yeah..... I was the one to blame. I believe not many visitors come to Dieng that late.

A local approached me offering his service to find a hotel to my preference, later on he became my guide. He took me to another hotel few hundreds meter away from "Bu Jono". After checking the room, negotiated the price then I decided to take this "Flamboyan Hotel". Sharing a clean room, twin beds with hot water shower with my driver for Rp. 150,000/night (USD 16).

I asked my guide the best place to observe the sunrise in Dieng. He suggested a place in Sikunir. I didn't have a problem with that but the time. He would wake me up at 4-am to climb a hill a half an hour later. That was the problem!

We drove a car from the hotel to Sikunir hill for 15-minutes. It was dark and cold. Dieng Plateau was at 2,000 m plus above sea level. Even in the tropical area, that height will give you a cold weather. In August it's normal to have a frosty morning in Dieng.

Pak Wikno, my guide, told me it would be a 25-minutes climb. That was not a big deal, I thought. But soon I felt that 25-minute climb took forever. Thank God, I still had strong foot. But I could hardly breath. It was crystal clear that I had to stop my 2-years hiatus of aerobic exercises.

Finally I made it, and sat on a rock on the top of the hill to catch my breath back. It was still too early for a sunrise. I still had time to recover my ego from being beaten down by that 25-minute climb. Pak Wikno suggested me to stand here and there to get the best sunrise view. I ignored him, my top priority was to breath.

The sun then started to show up but the cloud between my eyes and the sun was there, blocking the view. I was disappointed a bit, but the overall view was really awesome. Being above the cloud gave me an extraordinary feeling.

Panoramic view of the sunrise

I started to take pictures as many as possible. Thanks to the digital technology, I didn't have to worry to run out of negative film anymore.

Gunung Sindoro stood beautiful, covered Gunung Sumbing from my view ("Gunung" is mountain in Indonesian). From the distance, I could see Gunung Merbabu and the infamous Gunung Merapi. The white clouds cover the villages and potato farms below.

Gunung Sindoro, can you see Gn. Merbabu and Merapi in the distance?

I just stayed there as long as possible to enjoy the magnificent view in front of my eyes until the sun was too high. I thought that was the end of the golden time, when the sunlight made everything turn to gold color.

I still have an unfinished business: went down the hill. I hoped it would be easier than climbing it up.

Click here for more pictures.

Thursday, May 20, 2010

Roda-Roda Gila

Pernah melihat truk trailer 18 roda yang biasa menarik kontainer? Ada satu yang saya lihat dan menarik perhatian saya, antara takjub dan kesal. Takjub karena tidak membayangkan ada truk yang nyaris semua bannya gak ada yang bener. Kesal sama sopir (atau pemiliknya?) kenapa bisa begitu lalai atas keselamatan dirinya dan pengguna lalu lintas lain. Heran juga kenapa bisa lolos uji KIR oleh DLLAJR (kalau ini pura-pura gak ngerti ;-) ).

Mari kita lihat:

Melihat penampilan fisik, sepertinya ini adalah truk bekas yang diimpor. Body cockpit sudah miring, tapi kata sopirnya : "ini gak apa-apa kok!".

Coba kita lihat semua bannya satu persatu, dimulai dari ban depan kiri ke belakang memutari truk, sampai terakhir roda depan kanan:

Roda #1

Roda # 2 & 3

Roda # 4 & 5
Roda # 6 & 7


Roda # 8 & 9

Roda # 10 & 11

Roda # 12 & 13
Roda # 14 & 15
Roda # 16 & 17
Roda # 18
Bagaimana? Saya sendiri jadi ingat lagu jadul milik Bangkit Sanjaya berjudul "Roda-roda Gila".

Dalam perspektif global, pada tahun 2004 kecelakaan lalu lintas menempati peringkat 9 penyebab kematian global. Peringkat ini diprediksi WHO akan naik menjadi peringkat 5 pada tahun 2030.

WHO mengeluarkan Road Traffic Deaths Index 2009 Rankings. Kali ini, nama Indonesia tidak tercantum di papan atas. Di dalam laporan itu, Indonesia menempati peringkat 91. Di antara negara ASEAN, peringkat Indonesia lebih baik dari Malaysia (peringkat 58), Myanmar (60), Filipina (70) dan Thailand (73). Tidak dijelaskan angka kematian akibat lalu lintas di Indonesia yang lebih kecil dari negara-negara tersebut tadi apakah karena disiplin dan kondisi sarana lalu lintas yang lebih baik atau karena intensitas penggunaan yang lebih rendah.

Ayo lihat ban mobil kita. Ada yang sudah tipis kembangannya? Benjol? Retak? Sudah terlalu banyak tambalan? Seyogyanya kondisi ban menjadi prioritas lebih dibandingkan dengan perangkat audio mobil, misalnya, karena menyangkut keamanan dan keselamatan berkendaraan.

Wednesday, May 19, 2010

Julang Jaling

Malam itu saya dan kolega ditraktir bos makan malam rumah makam padang. Berawal dari salah satu menu yang dicampur irisan jengkol pembicaraan beralih ke jenis-jenis makanan "hardcore", seperti jengkol dan petai.

Hampir semua sepakat bahwa jengkol yang paling bau, kecuali satu orang yang "keukeuh" bilang ada yang lebih bau dari jengkol dan petai. Namanya? Sayang dia lupa, tapi bentuknya kecil, hitam dan lebih bau dari jengkol. Dia pernah makan sekali sewaktu berada di salah satu desa pesisir di Lampung Timur.

Setelah kasak-kusuk bertanya ke teman-teman orang Lampung, diperoleh informasi ada buah yang lebih bau dari jengkol. Konon, baunya adalah kombinasi bau jengkol dan petai. Dahsyat! Namanya julang jaling.

Akhirnya saya bisa mendapatkan julang-jaling dengan bantuan teman yang membelinya di pasar kaget di daerah Tanjung Bintang, Bandarlampung.

Ternyata reputasi julang-jaling yang saya terima berdasarkan info teman-teman benar adanya. Baunya campuran jengkol dan petai. Secara fisik julang-jaling berkulit hitam kecoklatan (seperti jengkol) tapi warna dagingnya hijau (seperti petai). Segenggam julang-jaling segar yang belum diapa-apakan mampu menyebarkan aromanya ke seluruh ruangan dalam hitungan menit!

Julang jaling (Archidendron microcarpum)

Secara ilmiah julang jaling ini lebih dekat ke jengkol, mungkin itu sebabnya warna kulitnya mirip jengkol. Pohonnya saya belum pernah melihat langsung. Untuk penjelasan rinci, silakan kunjungi laman Wikipedia yang tautannya ada di bagian bawah artikel ini.

Teman saya biasa memakan julang jaling dalam bentuk segar dimakan bersama sambal. Ada juga yang digoreng terlebih dahulu. Ada juga yang dijadikan campuran kacang-teri.

Biasanya yang membuat jengkol dan petai dimusuhi adalah baunya, terutama setelah dikonsumsi. Mulut bau, nafas bau, juga tidak "toilet-umum-friendly". Untuk dua "bau" yang pertama saya sudah menemukan cara jitu untuk menangkalnya, dan sudah terbukti. Setelah mengkonsumsi jengkol atau petai, makanlan mentimun segar paling tidak satu buah.

Untuk julang jaling, saya belum pernah jajal keampuhan mentimun. Julang jaling yang saya dapatkan di Lampung bulan Maret 2010 lalu, sampai sekarang masih saya sembunyikan di kulkas, di kompartemen sayuran dan dibungkus plastik 3 lapis. Karena konon baunya dahsyat, sampai sekarang saya menunggu saat yang tepat untuk jajal julang jaling, saat libur panjang di rumah! Khawatir jadi repot juga kalau bepergian dengan aroma julang jaling.

Informasi lebih lanjut bisa dilihat dengan meng-klik tautan-tautan berikut: sherryfreddy atau Wikipedia.


Iman
Pemalang, 19 Mei 2010